Posted by admin - 22 Oktober 2011 - Da'i dan Dakwah

Islam merupakan suatu sistem yang sangat sempurna, yang mana Allah SWT memuliakan manusia dengannya. Untuk dapat hidup dibumi ini dalam keadaan bahagia, puncak kebahagiaan itu setelah dia mengambil tauladan pada identitasnya, sehingga dapat mengetahui benar bahwa dia adalah hamba Allah swt yang tunggal pun mempunyai segala sifat-sifat kesempurnaan, kemudian dia meneliti disekitarnya sebab kehidupan yang layak sehingga memungkinkan manusia untuk beribadah pada Allah SWT, dan tidak akan terlaksana kehidupan yang layak itu tanpa adanya persatuan yang berlandaskan saling hormat-menghormati antara satu dengan yang lain, tanpa adanya penekanan dari suatu pihak dan unsur kezaliman.
Sebenarnya Islam tanpa adanya undang-undang yang lain sudah merupakan sistem yang dapat mencukupi taraf hidup maupun pemikiran yang mana akan terlaksana kesemuanya itu dimulai dari landasan aqidah untuk memandang kehidupan, akhlak dan juga unsur-unsur yang berkaitan dengan perilaku, yang kesemuanya masuk dalam lingkup agama dengan kesadaran yang mutlak.
Sebenarnya zakat tiada lain terkecuali salah satu hukum dari banyak hukum yang diturunkan Allah SWT untuk kemaslahatan manusia.
Sesungguhnya tugas zakat kalau ditinjau dari globalnya adalah penelitian income seseorang untuk tidak sewenang-wenang dalam tumbuhnya, ditinjau dari segi keadilan antara satu dengan yang lain, dengan harapan tumbuhnya sejajar dan patut dengan kebutuhan masyarakat, berkaitan dengan hal tersebut kita diingatkan Sabda Rasulullah SAW sewaktu beliau mengirim banyak utusan ke daerah-daerah.
Sabda Rasullah saw:
(Ajak mereka untuk menyaksikan bahwa tiada Tuhan melainkan Allah, dan aku adalah pesuruh Allah dan kalau mereka sudah mentaati, beritahu mereka bahwa Allah telah mewajibkan sodakoh yang diambil dari yang kaya dan di berikan pada yang fakir). – Buchori (1331) Muslim (19).
Begitulah syariat Islam tidak menyandarkan seseorang pada kemampuannya sendiri untuk menstabilisikan kehidupan, maupun menyandarkan pada bantuan orang lain, tapi di sana ada persatuan dan hukum yang menjamin lancarnya kehidupan di dunia ini.
1. Pendapat ulama tentang Ahlul Bait dan Zakat.
Berdasarkan seluruh sumber hukum, semua keturunan ahlul bait Rasulullah saw termasuk Bani Hasyim dan Bani Abdul Mutholib diharamkan menerima sedekah atau zakat dalam bentuk apapun juga. Mereka diberi hak untuk memperoleh bagian dari ghanimah atau dari kas negara yang sifat pemerintahannya Islam yang biasa disebut (baitul mal). Akan tetapi dalam zaman kita dewasa ini tidak ada lagi ghanimah dan tidak ada pula dana baitul mal sebagaimana yang dahulu pernah terjadi pada zaman pertumbuhan Islam.
Dengan terjadinya perkembangan yang demikian jauh dibanding dengan zaman Rasulullah saw, maka sebagai akibatnya para keturunan ahlul bait Rasulullah saw yang hidup kekurangan tidak dapat menerima tunjangan yang oleh syariat telah ditetapkan sebagai hak mereka. Lagi pula banyak sekali di antara mereka yang hidup bertebaran di negeri atau daerah-daerah terpencil. Dalam keadaan seperti ini apakah oleh syariat mereka diperkenankan menerima sedekah atau zakat dari orang-orang kaya setempat untuk meringankan beban hidup mereka sehari-hari ?
Untuk menjawab masalah ini, dipandang perlu kita mengetahui dalil-dalil tentang hal tersebut, baik yang diambil dari alquran, hadits maupun ijtihad para ulama. Mudah-mudahan uraian ini dapat membantu menghantarkan pembaca dalam membahas masalah halal atau tidaknya keluarga Rasulullah saw menerima sedekat/zakat, dan dengan membaca uraian ini diharapkan pula dapat menghasilkan jawaban yang menghapus keragu-raguan selama ini di antara sebagian keturunan Rasulullah saw tentang boleh atau tidaknya mereka menerima sedekah/zakat.
وَاعْلَمُوْا أَنَّمَا غَنِمْتُمْ مِّن شَيْءٍ فَأَنَّ لِلّهِ خُمُسَهُ وَ لُلْرُسُولِ وَ لِذِى الْقُرْبَى وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَبِيْلِ
Artinya : Ketahuilah, sesungguhnya apa saja yang dapat kamu peroleh sebagai rampasan perang (ghanimah), maka sesungguhnya seperlima untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil.
Dalam kitab tafsir Fath al-Qadir dan Ibnu Katsir disebutkan pendapat yang mengatakan bahwa khumus adalah untuk Allah, rasul, kerabat rasul, anak-anak yatim, orang-orang miskin, ibnu sabil. Selain itu disebutkan pula pendapat yang mengatakan bahwa khumus tersebut dibagi enam, dan bagian yang keenam untuk Ka’bah.
Perbedaan pendapat terjadi pula atas bagian rasul dan kerabat setelah rasul wafat, ada yang mengatakan bagian rasul untuk khalifahnya, pendapat lain mengatakan bagian tersebut tetap untuk kerabat nabi saw, pendapat lain mengatakan bagian untuk kerabat nabi diperuntukkan kerabat khalifah.
Dalam kitab Majma’ al-Bayan disebutkan bahwa khumus merupakan hak dari keluarga Rasulullah, yaitu anak-anak yatim keluarga Muhammad, orang-orang miskin dari mereka, dan ibnu sabil dari kalangan mereka. Hal tersebut sesuai dengan yang diriwayatkan oleh al-Thabari dari Zainal Abidin Ali bin Husin, sesungguhnya khumus adalah hak kami. Allah berfirman :
وَالْيَتَامَى وَالْمَسَاكِيْنِ وَابْنِ السَبِيْلِ
Yang dimaksud dengan ayat di atas adalah anak-anak yatim kami, orang-orang miskin dan ibnu sabil dari kalangan kami. Hal itu disebabkan mereka telah diharamkan menerima sedekah yang merupakan daki/kotoran manusia, sebagai gantinya yaitu khumus.
Menurut Syafii dan Hambali : “Harta rampasan perang itu, yaitu seperlima (khumus) dibagi ke dalam lima bagian. Satu bagian adalah untuk rasul, dan dipergunakan untuk kemaslahatan dan perbaikan umat Islam. Dan satu bagian diberikan untuk kerabat (keluarga), yaitu keluarga dari keturunan Bani Hasyim, baik yang kaya maupun fakir, tak ada bedanya. Dan tiga bagian lainnya dikeluarkan untuk anak-anak yatim, orang-orang miskin dan ibnu sabil, baik mereka dari keturunan Bani Hasyim maupun bukan.”
Menurut Hanafi : “Bagian untuk Rasulullah telah gugur dengan wafatnya. Kalau para kerabat (famili), mereka seperti yang lain dari kalangan orang-orang fakir. Mereka diberi karena kefakiran mereka, bukan karena mereka menjadi kerabat (famili) Rasulullah saw.
Menurut Maliki : “Masalah khumus (seperlima) ini kembali atau diserahkan kepada imam (pemimpin) agar dipergunakan untuk kemaslahatan umat.”
2. Siapa keluarga (آل ) Rasulullah saw ?
Berkata Ibnu Hajar al-Asqolani dalam kitabnya Fath al-Bari, dan al-Syaukani dalam kitabnya Nail-al-Authar mengenai makna keluarga (آل ) Muhammad saw. Para ulama berbeda pendapat mengenai makna keluarga (آل ) Muhammad saw, sebagai berikut :
Pendapat Imam Syafii, Ahmad, Abu Tsaur, Mujahid, Qatadah, Ibnu Juraij dan Muslim bin Kholid : ‘Sesungguhnya yang dimaksud dengan (آل ) Muhammad saw adalah Bani Hasyim dan Bani Muthalib. Hal itu dikarenakan Bani Mutholib dan Bani Hasyim berserikat dalam bagian dzawil qurba, dan Nabi saw tidak memberi bagian tersebut kepada siapapun dari suku Quraisy, selain kepada mereka. Pemberian itu adalah sebagai ganti, karena mereka diharamkan untuk menerima sedekah.
Diriwayatkan oleh Bukhari dari Jubair bin Math’am :
قال : مشيت انا و عثمان بن عفان الى النبي صلى الله عليه وسلم فقلنا : يا رسول الله أعطيت بني المطلب من حمس خيبر وتركتنا ونحن وهم بمنزلة واحدة ! فقال رسول الله عليه وسلم : انما بنو المطلب و بنو هاشم شيئ واحد.
Artinya : “Saya berjalan bersama Usman bin Affan ke tempat Nabi saw, lalu kami berkata ‘Wahai Rasulullah saw, engkau telah memberi Bani Mutholib seperlima bagian dari harta rampasan Khaibar dan engkau tinggalkan kami, padahal kami dan mereka sama. Lalu Rasulullah bersabda : Bani Mutholib dan Bani Hasyim adalah satu.”
Pendapat Abu Hanifah, Malik dan Hadawiyah : Mereka adalah Bani Hasyim saja.
Dan yang dimaksud dengan Bani Hasyim adalah keluarga Ali, keluarga Aqil, keluarga Ja’far, keluarga Abbas dan keluarga Harits. Keluarga Abu Lahab tidak termasuk didalamnya, hal tersebut disebabkan tidak ada satupun keluarga Abu Lahab yang beragama Islam pada masa Rasulullah saw hidup. Akan tetapi dalam kitab Jami’ al-Ushul disebutkan bahwasanya anak Abu Lahab yang bernama Utbah dan Mu’tab masuk Islam ketika penaklukan kota Makkah, mereka meninggal dalam perang Hunain dan Thaif.
3. Bolehkah Keluarga Rasulullah saw menerima zakat/ sedekah ?
عن عبد المطلب بن ربيعة بن الحارث , قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان الصدقة لا تنبغي لأل محمد, إنما هي أوساح الناس (رواه مسلم)
Artinya : Dari Abdul Mutholib bin Rabi’ah bin Harits berkata, bersabda Rasulullah saw : Sesungguhnya Zakat/sedekah tidak pantas (tidak halal) bagi keluarga Muhammad, karena sedekah itu adalah daki (kotoran) manusia.
Dalam suatu riwayat Muslim dari Abdul Mutholib, Rasulullah saw bersabda :
وانها لا تحل لمحمد ولا لأل محمد (رواه مسلم)
Artinya : Sesungguhnya sedekah itu tidak halal bagi Nabi Muhammad dan bagi Keluarga Muhammad saw.
Hadits tersebut memberikan pengertian bahwa lafadz لا تنبغي itu beliau maksudkan “tidak halal” yang berarti memberikan pengertian haram. Hadits tersebut sebagai dalil yang menunjukkan haram sedekah bagi Nabi Muhammad dan keluarganya. Mengenai haramnya zakat bagi pribadi Nabi saw para ulama telah sepakat.
Abu Hurairah menceritakan, bahwa pernah Hasan bin Ali mengambil sebiji kurma dari hasil zakat, maka berkata Rasulullah kepadanya :
كخ كخ , ليطرحها , اما شعرت انّا لا نأ كل الصدقة
Artinya : Hai Hai ! (maksudnya agar dibuang). Apakah kamu belum tahu, bahwa kita tidak boleh memakan hasil dari zakat.
Imam Ja’far al-Shaddiq pernah ditanya, apakah sedekah halal bagi Bani Hasyim. Beliau menjawab : “Sedekah wajib tidak halal bagi kami, adapun selainnya maka tidak apa-apa”.
Berkata Ibnu Qudamah : Kami tidak mengetahui adanya perbedaan pendapat bahwa sesungguhnya Bani Hasyim tidak dihalalkan untuk menerima sedekah wajib/zakat. Hal itu disebutkan dalam kitab al-Ijma karangan Ibnu Ruslan.
Abdullah bin Nuh menulis, menurut madzhab Syafii, dalam keadaan bagaimanapun juga mereka mutlak diharamkan menerima sedekah atau zakat. Akan tetapi sebagian ulama Syafiiyah membolehkan keluarga Nabi saw menerima sedekah atau zakat.
Ibnu Jarir al-Thabari menukil akan kebolehan Bani Hasyim menerima sedekah dari Imam Hanafi, begitu pula dari Imam Malik dan sebagian ulama Syafiiyah.
Menurut Abu Yusuf, sesungguhnya mereka dihalalkan menerima sedekah dari mereka untuk mereka bukan dari yang lainnya . Artinya keluarga Bani Hasyim dihalalkan menerima sedekah dari yang diberikan dari Bani Hasyim juga. Jika keluarga Bani Hasyim menerima sedekah dari bukan Bani Hasyim maka hal itu tidak dibolehkan. Begitu pula pendapat dari Zaid bin Ali, Abi Abbas dan Imamiyah.
Pendapat ini juga merupakan pendapat dari para salaf Al Alawiyyin.
Ibnu Hajar al-Asqolani mengatakan menurut ulama Malikiyah terdapat empat pendapat : membolehkan, melarang, membolehkan menerima sedekah sunnah dan melarang menerima sedekah wajib (zakat), membolehkan menerima sedekah wajib dan melarang menerima sedekah sunnah.
Adapun dalil yang menghalalkan pemberian sedekah dari Bani Hasyim ke Bani Hasyim, sebagaimana yang diriwayatkan oleh al-Hakim :
ان العباس بن عبد المطلب قال : قلت يا رسول الله إنك حرمت علينا صدقات الناس ، هل تحل صدقات بعضنا لبعض ؟ قال : نعم .
Artinya : Abbas bin Abdul Mutholib berkata : “Saya berkata kepada Rasulullah saw : Wahai Rasulullah, sesungguhnya engkau mengharamkan sedekah manusia untuk kami, apakah engkau menghalalkan sedekah yang diberikan dari kami untuk kami ? Rasulullah berkata : Ya.”
Dalam kitab fiqih Hanafiah yang berjudul Majma’ al-Anhar, berkata Imam Hanafi : Tidak mengapa mencampuradukan semuanya (sedekah wajib dan sedekah sunnah) dan memberikannya kepada mereka. Di lain riwayat Imam Hanafi berkata : Boleh memberikan zakat kepada mereka.
Sedangkan Imam Muhammad mengatakan mereka boleh menerima sedekah, dikarenakan pengharaman untuk menerima sedekah kepada mereka hanya berlaku pada zaman Rasulullah masih hidup. Dan dalam kitab Dar al-Muntaqo, beliau berpendapat bahwa Bani Hasyim boleh menerima zakat pada zaman setelah Rasulullah saw.
Syeikh al-Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan : Bani Hasyim boleh menerima zakat yang dikeluarkan oleh Bani Hasyim.
Muhammad Abduh Yamani berkata : Jika keluarga Rasul saw yang menerima sedekah atau zakat berdosa, sebenarnya yang berdosa itu adalah orang-orang kaya yang tidak peduli akan hak-hak keluarga Rasul saw yang telah disebutkan dalam alquran dan ditetapkan dalam hadits-haditsnya.
Rasulullah saw bersabda :
انّ الله فرض على أغنياء المسلمين فى اموالهم بقدرالّذي يسع فقراءهم, ولن يّجهد الفقراء اذا جاعوا او غروا الاّبما يصنع اغنياؤهم, الا وانّ الله يحاسبهم حساباشديدا, ويعذّبهم عذابا اليما
Artinya : Sesungguhnya Allah swt mewajibkan atas semua orang kaya muslimin mengenai harta mereka agar mengeluarkan zakat sekedar untuk melapangi orang-orang fakir mereka (dari keluarga Rasul saw-pent), sehingga orang fakir tidak kelaparan atau kesulitan, kecuali karena sikap orang-orang kaya mereka (tidak mau mengeluarkan zakat). Ketahuilah, bahwa Allah akan memperhitungkan harta mereka itu dengan ketat (di akhirat) dan akan menyiksa mereka dengan siksaan yang pedih.
Imam Ja’far al-Shadiq berkata :
“Sesungguhnya Allah swt telah mencukupi bagi fukara’ (dari keluarga rasul saw-pent) harta yang dapat mencukupi hidup mereka di dalam harta orang-orang kaya. Jika Allah swt tahu hal itu tidak akan mencukupi, tentu Allah swt akan menambahnya. Mereka menjadi fukara’ bukan karena tidak ada bagian dari Allah swt untuk mereka, tetapi karena orang-orang (kaya) itu tidak mau memberikan hak para fukara’ tersebut. Seandainya setiap orang (kaya) menunaikan kewajiban mereka, maka mereka (para fukara’) akan hidup dengan baik”.
Berdasarkan riwayat di atas menunjukkan dengan jelas bahwa kefakiran datangnya dari bumi, bukan dari langit, dari kezaliman manusia yang satu terhadap yang lain, bukan dari Allah yang maha agung dan bijaksana.
Imam Muhammad al-Bagir berkata : ‘Allah swt tidak meminta mengerjakan sholat kecuali yang fardhu, tidak meminta menunaikan sedekah selain zakat, dan tidak meminta melaksanakan puasa selain puasa Ramadhan”.
4. Bolehkah keluarga Rasulullah menerima Zakat/ sedekah, setelah khumus tidak ada lagi ?
Menurut ulama Malikiah : Dimungkinkan untuk memberi hak Bani Hasyim dari uang zakat selama baitul mal tidak ada, dimana jika tidak diberikan akan menjadikan mereka orang-orang yang faqir. dan memberikan hak Bani Hasyim dari uang zakat lebih utama daripada memberikannya kepada orang lain.
Ada pula yang berpendapat bahwa kebolehan pemberian tersebut dikarenakan darurat, yaitu sekedar diperbolehkannya manusia memakan bangkai dalam keadaan darurat. Artinya, mereka tetap diharamkan untuk menerima sedekah, kecuali dalam keadaan darurat maka mereka boleh menerimanya.
Berkata Abu Said al-Asthakhri al-Syafii : Sesungguhnya ketiadaan hak mereka dari khumus, membolehkan pemberian sedekah kepada mereka, Jika tidak ada yang diberikan kepada mereka dari khumus, maka wajib memberikan zakat kepada mereka.
Berkata al-Nawawi dari al-Rafii : Sesungguhnya Imam al-Ghazali memberikan fatwa yang sama.
Ibnu Taimiyah dan al-Qadhi Ya’kub al-Hanabilah menjelaskan di perbolehkannya keluarga Rasulullah s.a.w.menerima zakat dari orang lain jika tidak ada khumus – ghanimah dan fa’i. Sesungguhnya hal tersebut untuk memenuhi hajat yang darurat.
Akan tetapi jumhur ulama masih belum bersepakat mengenai kebolehan pemberian zakat kepada Bani Hasyim walaupun tidak ada khumus. Mereka berdalil bahwa zakat diharamkan untuk mereka karena kemuliaan mereka yang merupakan kemuliaan Rasulullah saw. Pengharaman tersebut berlaku walaupun tidak ada khumus, sedangkan bila terjadi kemiskinan atau kefaqiran yang menyebabkan bencana bagi mereka, maka ummat Islam yang bertanggung jawab akan hal tsb.
Habib Alwi bin Tohir Al-Haddad dalam kitab Al-Qaul al-Fashlu berpendapat bahwa keharaman menerima zakat bagi keluarga Rasulullah saw disebabkan untuk membersihkan kedudukan mereka dan mensucikan dzat mereka sebagai ahlul bait, karena zakat merupakan kotoran manusia yang dikeluarkan untuk membersihkan harta mereka.
5. Makna Zakat
Arti kata zakat menurut bahasa adalah tumbuh. Di dalam syariat, zakat ialah sedekah wajib dari sebagian harta. Sebab dengan mengeluarkan zakat maka pelakunya akan tumbuh (mendapat kedudukan tinggi) di sisi Allah swt dan menjadi orang yang suci dan disucikan. Makna yang demikian ini diisyaratkan oleh firman Allah swt dalam surah at-Taubah ayat 104 :
خُذْ مِنْ اَمْوَالِهِمْ صَدَقَةً تُطَهِّرُهُمْ وَ تُزَكِّهِمْ بِهَا
Artinya : Ambillah sedekah dari harta mereka agar menyucikan dan membersihkan mereka.
Firman Allah swt dalam surah al-Hajj ayat 41 :
الَّذِينَ اِنْمَّكَّنَّهُمْ فىِالأَرْضِ اَقَامُوا الصَّلوةَ وَاتَوُا الزَّكوةَ …
Artinya : (Yang dinamakan orang mu’min ialah) orang-orang yang bila Kami tempatkan di bumi, maka mereka mengerjakan sholat dan mengelaurkan zakat.
Rasulullah saw bersabda : “Tiga macam, yang karenanya saya bersumpah menceritakan kisah yang sebenarnya terjadi, yaitu : harta tidak berkurang karena disedekahkan, tidaklah teraniaya hamba Allah yang bersabar, kecuali tambah kemuliaannya di akhirat, dan Allah tidak membukakan suatu pintu tempat meminta, kecuali dibukakan-Nya pula pintu kefakiran.
Bila orang yang mengeluarkan zakat memperhatikan bagaimana gembiranya orang yang menerima zakat, maka ia akan mempunyai hati yang halus, bagaikan seorang gadis yang baru menyiram bunganya yang sedang layu, maka bunga tersebut segar kembali. Sebenarnya bila Allah swt membukakan pintu pahala bagi orang kaya, maka dijadikan-Nya orang-orang yang meminta kepadanya, bila semua manusia kaya, maka si kaya tidak akan dapat menambah pahalanya. Kepada siapa mereka akan memberikan hartanya. Semua itu merupakan kejadian yang harus diambil hikmahnya.
Anas menceritakan, bahwa seorang laki-laki dari suku Tamim datang dan mengatakan kepada Rasulullah saw : Ya Rasulullah, sesungguhnya saya ini mempunyai kekayaan yang banyak, mempunyai keluarga dan banyak teman yang menjadi tamu. Bagaimana seharusnya saya mengeluarkan zakat saya ? Rasulullah saw menjawab : “Keluarkan zakat itu dari harta milikmu sendiri, karena zakatnya itu bagaikan pencuci yang mensucikan kamu, menghubungkan tali silaturahmi kepada kerabatmu, di samping itu kamu juga mengakui adanya hak fakir miskin, tetangga dan orang yang meminta-minta”. Selanjutnya Rasulullah bersabda :
من ادّى زكاة ماله ذهب عنه شرّه
Artinya : Siapa saja yang telah membayarkan zakat hartanya, maka telah dilenyapkan daripadanya hal-hal yang jahat.
6. Batas yang diperbolehkan seorang menerima zakat atau sedekah !
Para ulama berbeda pendapat mengenai batas kecukupan yang memperbolehkan seseorang menerima zakat atau sedekah, diantaranya adalah cukup untuk makan sehari semalam. Hal ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan oleh Sahl bin al-Hanzhaliyyah, bahwa : “Rasulullah saw melarang meminta-minta bagi siapa yang berkecukupan”. Ketika ditanya tentang batas kecukupan itu, beliau menjawab : “Yang cukup untuk makan siang serta makan malamnya”.
Dalam pengertian ilmu fiqh , kategori miskin ialah orang yang mempunyai kecukupan makan minum untuk sehari semalam , sedangkan faqir tidak mempunyai kecukupan makan minum untuk hari itu .
Imam Ja’far al-Shaddiq berkata : “Zakat haram hukumnya bagi orang yang mempunyai biaya hidup satu tahun, dan orang yang memiliki biaya hidup setahun ini wajib mengeluarkan zakat fithrah”. Beliau ditanya tentang seorang yang mempunyai biaya makan untuk sehari, apakah dia boleh menerima zakat ? Beliau menjawab : “Orang tersebut boleh mengambil dari zakat, sekedar yang dapat mencukupi hidupnya untuk satu tahun, walaupun saat itu dia mempunyai biaya hidup untuk satu bulan, sebab zakat ialah dari tahun ke tahun”.
Adapun mengenai batas sampai ‘kecukupan untuk makanan sehari semalam’ adalah berkaitan dengan tidak disukainya perbuatan meminta-minta atau kebiasaan mengemis dari pintu ke pintu. Yakni, orang yang masih memiliki makanan untuk sehari semalam, hendaknya tidak meminta-minta dengan mendatangi pintu-pintu rumah orang lain. Sebab yang demikian itu adalah perbuatan yang sangat tidak disukai dalam agama. Ibnu Mas’ud meriwayatkan, Rasulullah saw bersabda :
من سأل وله مال جاء يوم القيامة وفى وجه خموش
Artinya : Barangsiapa meminta-minta sedangkan ia memiliki harta yang mencukupi, kelak pada hari kiamat ia akan datang dengan wajah yang penuh noda.
Dari Abu Daud dan Ibnu Hibban dalam sahihnya, Rasulullah saw bersabda :
من سأل وله ما يغنيه فانّما يستكثر من النار
Barangsiapa meminta sedangkan ia memiliki apa yang mencukupi, maka sesungguhnya ia telah memperbanyak bara api jahanam bagi dirinya sendiri.
Diriwayatkan dari Ibnu Umar, Rasulullah saw bersabda :
لا يزال الرجل يسأل الناس حتّى يأتي يوم القيامة وليس في وجهه مزعة لحم
Artinya : Orang yang senantiasa minta-minta pada orang-orang hingga hari kiyamat, maka pada mukanya tidak ada daging sekerat pun.
Diriwayatkan dari Samurah bin Jundab, Rasulullah saw bersabda :
المسألة كدّ يكدّ بها الرّجل وجهه
Artinya : Minta-minta itu suatu garutan seseorang terhadap mukanya sendiri.
Diperbolehkan meminta-minta, jika seseorang dalam keadaan sangat miskin, sakit keras, dan hutangnya mencekik, sebagaimana hadits Rasulullah saw yang diriwayatkan dari Qubaishoh :
لا يحلّ السؤال الاّ لثلاثة ذي فقر مدقع او دم موجّع او غرم مغظع
Artiya : Tidak halal (haram) meminta-minta kecuali karena 3 (tiga) sebab, yaitu : orang yang sangat miskin, orang yang sakit keras dan orang yang mempunyai hutang mencekik.
Kebanyakan para ahli fiqih mengatakan bahwa seorang yang mampu bekerja mencari uang tidak boleh diberi zakat, sebab dia dianggap kaya. Imam Muhammad al-Bagir berkata : “Sedekah tidak halal untuk orang yang mampu bekerja, dan tidak juga untuk orang yang sehat jasmani yang mampu menanggung jerih payah kerja”.
Di kalangan ulama Syafiiyah terdapat dua macam peminta-minta, yaitu :
- Peminta-minta yang masih mampu bekerja mencari nafkah. Orang semacam ini haram meminta-minta.
- Peminta-minta yang makruh (dibenci), yaitu yang memenuhi tiga syarat : bahwa dia tidak menghina dirinya dengan meminta-minta, dia tidak merengek-rengek/memaksa dalam meminta, dia tidak menyakitkan hati orang yang dimintai. Jika dari ketiga syarat ini tidak terpenuhi, maka ulama Syafiiyah sepakat akan keharamannya.
Sebagai penutup pembahasan tentang boleh atau tidaknya menerima zakat, semua tergantung kepada penerima zakat itu sendiri, karena yang dapat menentukan dia boleh atau tidak menerima zakat hanyalah dirinya sendiri, sebagaimana hadits Rasulullah saw :
استفت قلبك وإن أفتوك وأفتوك
Artinya : Mintalah fatwa dari hati nuranimu sendiri, apapun yang difatwakan kepadamu oleh orang lain.
Diriwayatkan dari Hakim bin Hizam, Rasulullah saw bersabda :
اليد العليا خير من اليد السّفلى … ومن يستعفف يعفّه الله ومن يستغن يغنه الله.
Artinya : Tangan di atas (pemberi) lebih baik dari tangan di bawah (penerima). Barangsiapa yang mampu menjaga diri (dari meminta-minta), maka Allah akan menjaga dirinya, dan barangsiapa yang merasa cukup (puas dengan apa yang ada tanpa meminta-minta), niscaya Allah akan mencukupkan kebutuhannya.